Perbedaan Minyak Jelantah (Minyak Goreng Bekas) dan Minyak Goreng Baru

Proses menggoreng merupakan salah satu jenis proses termal yang paling sering diaplikasikan pada bahan pangan di Indonesia. Maklum, orang Indonesia sangat menyukai makanan yang digoreng. Makanan yang digoreng akan terasa lebih gurih dan renyah. Proses penggorengan melibatkan medium (zat perantara) untuk menggoreng, medium yang paling sering digunakan ialah minyak sawit atau yang lebih lazim disebut minyak goreng.

Seringkali kita luput untuk mengganti minyak yang kita gunakan untuk menggoreng. Sehingga, minyak jelantah (minyak goreng bekas) sering digunakan kembali dalam proses penggorengan. Jika diperhatikan secara saksama, minyak jelantah cenderung berwarna lebih gelap, kental, dan beraroma jika dibandingkan dengan minyak goreng baru.

Menurut Warner (2002), minyak goreng akan mengalami dekomposisi komponen-komponen penyusunnya selama proses penggorengan terjadi. Produk dari dekomposisi ini dapat bersifat volatile dan non-volatile. Produk dekomposisi yang bersifat volatile akan berdampak pada perubahan aroma minyak jelantah sedangkan produk dekomposisi non-volatile berdampak pada perubahan kekentalan dan warna.

Reaksi yang menjadi inisasi terbentuknya produk dekomposisi pada minyak jelantah adalah reaksi hidrolisis. Setiap bahan yang digoreng pasti mengandung air baik itu dalam bentuk cair maupun uap. Reaksi hidrolisis pada minyak dapat terjadi karena keberadaan air tersebut. Air akan menghidrolisis trigliserida menjadi mono dan digliserida, reaksi tersebut akan berlanjut hingga menjadi asam lemak dan gliserol. Secara umum, reaksi hidrolisis dapat digambarkan sebagai berikut:

Reaksi hidrolisis yang menghasilkan asam lemak bebas menyebabkan kestabilan minyak berkurang. Berkurangnya kestabilan ini akan mempercepat reaksi oksidasi maupun polimerisasi.

Produk dekomposisi yang bersifat volatile utamanya berasal dari reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi melibatkan oksigen yang berada di lingkungan sekitar, bahan pangan, maupun pada permukaan minyak itu sendiri. Pada dasarnya, reaksi oksidasi pada minyak dapat berlangsung pada suhu ruang (25 °C) sering disebut autooksidasi yang menghasilkan produk oksidasi primer yang kurang stabil yaitu hidroperoksida. Namun, dengan suhu tinggi (190 °C) oksidasi akan dipercepat hingga membentuk produk oksidasi sekunder seperti senyawa-senyawa golongan aldehida dan keton.

Menurut kongbonga et.al (2011), tahap-tahap reaksi oksidasi pada minyak adalah sebagai berikut:

  1. Inisiasi

Tahap awal inisiasi diawali oleh terputusnya salah satu ikatan hydrogen pada asam lemak tidak jenuh akibat keberadaan cahaya, panas, ion logam, maupun radikal bebas. Pada tahap awal ini terbentuklah radikal bebas yang kurang stabil.

  1. Propagasi

Proses ini kemudian dilanjutkan dengan reaksi antara radikal bebas dengan oksigen yang membentuk Peroxy radical.

Peroxy radical ini akan menarik atom hydrogen pada asam lemak tidak jenuh lainnya untuk membentuk hidroperoxyde serta menghasilkan produk samping yaitu radikal bebas.

  1. Terminasi

Proses oksidasi terus berlanjut hingga menghasilkan produk oksidasi sekunder yaitu senyawa aldehida dan keton

Produk akhir reaksi oksidasi sekunder ini adalah senyawa aldehida dan keton yang merupakan produk dekomposisi volatile. Sehingga, akibat secara langsung yang diterima akibat reaksi oksidasi ini adalah munculnya perubahan aroma pada minyak jelantah. Perubahan aroma dapat berupa aroma berminyak, fruity hingga apabila oksidasi telah berlangsung sekian lama dapat menimbulkan aroma tengik.

Bukan hanya oksidasi yang dapat menyebabkan produk dekomposisi pada minyak jelantah, terjadi pula reaksi polimerisasi pada minyak yang rusak. Polimerisasi merupakan proses penggabungan beberapa monomer-monomer menjadi suatu jaringan tiga dimensi atau rantai polimer.

Monomer-monomer yang bereaksi pada minyak jelantah ini dapat merupakan hasil dari reaksi hidrolisis maupun oksidasi. Polimer yang terbentuk cenderung bersifat nonvolatile, seperti mono acyl glycerol, Tri acyl glycerol dimmers, Tri acyl glycerol trimmers dan Tri acyl glycerol polymers menghasilkan perubahan fisik pada minyak goreng seperti meningkatnya viskositas dan perubahan warna.

Ketika memilih minyak untuk menggoreng maka pilihlah minyak dengan kualitas baik. Minyak yang tidak mudah teroksidasi, rendah kandungan polyunsaturated fatty acid, serta rendah kandungan logam nya.

Referensi

Samosir H A. 2015. Lemak Baik dan Lemak Jahat yang Berasal dari Minyak Goreng. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150513161520-255-53123/lemak-baik-dan-lemak-jahat-yang-berasal-dari-minyak-goreng
Kongbonga, Yvon Gilbert Mbesse et.al. 2011. Characterization of Vegetable Oils by Fluoroscence Spectroscopy. Food and Nutrition Sciences Vol. 2 No. 7. Juli 2011: 692-699.

Warner, Kathleen. 2002. Food Lipids: Chemistry, Nutrition and Biotechnology. Casimir C.Akoh dan David B.Min, editor. New York (US): Marcel Dekker Inc.

3 Comments

    • Halo, minyak goreng dapat terbakar. Asalkan kondisinya memenuhi teori segitiga api. Segitiga api itu diantaranya: Oksigen, Panas, dan Bahan Bakar (biasanya mengandung unsur karbon). Nah, karena minyak goreng mengandung unsur karbon, maka dia bisa terbakar.

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*