
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan konsumsi nasi nya yang tinggi. Wajar saja, karena nasi ialah makanan pokok orang Indonesia. Sudah ngemil roti, biskuit, mie, bakso.. kalau belum makan nasi ya tetap saja namanya belum makan. Tingginya konsumsi nasi ini membuat kebutuhan beras nasional menjadi tinggi, yang terkadang belum tentu mampu dipenuhi oleh kapasitas produksi beras dalam negeri (sehingga mengharuskan untuk impor).
Berangkat dari masalah tersebut muncullah ide para ilmuwan di dunia ilmu dan teknologi pangan untuk membuat suatu “beras yang bukan beras”. Beras ini lebih sering dikenal dengan sebutan “beras analog”. Beras analog dibuat dengan cara mencampurkan air, bahan pengikat dan bahan baku sumber karbohidrat yang kemudian dicetak baik menggunakan granulator, cold extrusion atau hot extrusion lalu dikeringkan(Budijanto 2014).
Sumber karbohidrat yang digunakan bisa bermacam-macam, diantaranya tepung singkong, ubi jalar, sorgum hingga jagung. Karbohidrat yang terdapat pada bahan-bahan tersebut mayoritas didominasi oleh pati. Pati merupakan polimer yang tersusun dari rantai amilosa dan amilopektin. Bahan penyusun keduanya ialah monomer-monomer glukosa. Selain pati, bentuk karbohidrat yang dapat ditemukan didalam beras analog ialah serat pangan, yang baik bagi kesehatan.
Jika ditilik dari manfaat kesehatannya, beras analog dapat memiliki indeks glikemik (IG) yang lebih rendah dibandingkan beras biasa. Hal ini terjadi apabila beras analog dibuat dari bahan-bahan yang memiliki nilai IG rendah. Indeks glikemik merupakan tingkatan pangan berdasarkan efeknya terhadap gula darah (Miller et al. 1995). Sebagai contoh, apabila menggunakan bahan baku seperti jagung, sagu aren, dan sorgum yang dikenal memiliki nilai IG rendah, maka beras analog yang dihasilkan memiliki nilai IG 47.09 atau 52.31 (tergantung persentase komposisi yang digunakan) (Budijanto et al. 2017). Hasil ini tentu lebih rendah jika kita bandingkan dengan beras putih, yang nilai IG nya mencapai 72.
Karakteristik sensori dari beberapa jenis beras analog ternyata dapat diterima apabila bentuk, warna, dan rasanya hampir serupa dengan beras biasa. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Noviasari et al. (2017), beras analog dengan karakteristik warna putih lebih mudah diterima dibandingkan yang berwarna kuning. Tekstur pada nasi hasil beras analog sudah mampu menyerupai beras biasa. Namun, untuk rasa masih sangat bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Ciri khas rasa dari nasi putih biasa yang sedikit manis masih cukup sulit digantikan oleh beras analog. Beberapa jenis beras analog dimodifikasi untuk mendapatkan karakteristik rasa yang bisa diterima. Penelitian dari Rasyid et al. (2016) menunjukkan bahwa beras analog berbahan dasar pati sagu, tepung sorgum dan campuran rempah-rempah (bawang putih, bawang merah, dan jahe) mampu meningkatkan penerimaan konsumen dari segi rasa.
Saat ini, beras analog sudah dapat ditemukan di toko seperti serambi botani maupun toko online. Kedepannya, apakah beras analog mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor beras??
Referensi
Budijanto S. 2014. Beras Analog sebagai Vehicle Penganekaragaman Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. IPB Bogor.
Budijanto S, Andri YI, Faridah DN, dan Noviasari S. 2017. Karakterisasi Kimia dan Efek Hipoglikemik Beras Analog Berbahan Dasar Jagung, Sorgum, dan Sagu Aren. AGRITECH. 37(4):302-409.
Miller BJ, Foster-Powell K. 1995. International Tables of Glycemic Index. Am J Clin Nutr. 62: 871-890.
Noviasari S, Kusnandar F, Setiyono A, Budijanto S. 2017. Karakteristik Fisik, Kimia, dan Sensori Beras Analog Berbasis Bahan Pangan Non Beras. PANGAN. 26(1):1-12.
Rasyid MI, Yuliana ND, Budijanto S. 2016. Karakteristik Sensori dan Fisiko Kimia Beras Analog Sorghum dengan Penambahan Rempah Campuran. AGRITECH. 36(4):394-403.
Leave a Reply