
Tekstur
Secara umum, tekstur nasi merupakan faktor penentu utama pada tingkat penerimaan konsumen. Sifat tekstur yang paling penting dalam penerimaan konsumen ialah perbandingan kekerasan dan kelekatan (Hariyadi 2008). Kekerasan merupakan kemampuan nasi untuk menerima beban tertentu dari luar dalam waktu tertentu (Juliano 1994). Sedangkan, kelekatan didefinisikan sebagai kemampuan butir-butir nasi untuk saling melekat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perbandingan komposisi amilosa dan amilopektin pada beras (Hariyadi 2008). Daya kunyah juga merupakan salah satu faktor penentu penerimaan konsumen.
Tekstur dapat diukur secara subjektif menggunakan panelis maupun menggunakan alat. Alat yang biasa digunakan ialah Texture Analyzer TA.XT Plus . Dalam pengukuran tekstur, alat Texture Analyzer memiliki prinsip kerja yaitu dengan memberikan tekanan pada bahan untuk melihat reaksinya. Luaran yang dihasilkan berupa kurva hubungan waktu dan tekanan. Kurva ini berfungsi untuk menghitung parameter tekstur yang berhubungan dengan sensori. Parameter tekstur yang dapat terbaca pada kurva antara lain kekerasan, kelengketan, springiness dan daya kunyah. Analisis dilakukan sebagai simulasi proses pengunyahan, dilakukan dengan memberikan dua kali tekanan pada produk sehingga terbentuk dua puncak. Kekerasan dianalisis dari puncak kurva pertama yang muncul. Daya kunyah merupakan hasil perkalian dari springiness dan gumminess. Springiness merupakan persepsi kenyal sedangkan gumminess merupakan sensasi pada dari makanan yang muncul saat dikunyah (Bourne 2002).
Sebelum pengukuran, penyesuaian terhadap alat sangat penting untuk dilakukan. Pemilihan jenis probe, mengatur kecepatan kompresi, dan derajat kompresi (persen strain). Probe yang tepat ialah yang memiliki diameter lebih besar dibandingkan diameter sampel sehingga permukaan produk dapat terkena gaya. Bello et.al (2006) dalam penelitiannya mengenai karakterisasi beras yang telah diberi perlakuan hidrotermal, menggunakan rod-type (cylinder) probe dengan diameter 3.6 cm atau 1.4 inch, kecepatan kompresi 0.5 mm/s dan derajat kompresi 60% . Sedangkan Champagne et.al (1998) menggunakan cylinder plunger dengan diameter 5 cm atau 1.97 inch dan kecepatan kompresi 1 mm/sec. Keduanya menggunakan tipe probe yang sama namun berbeda ukurannya.
Pengaturan kecepatan dan derajat kompresi sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Rosenthal (2010) dalam penelitiannya dengan menggunakan sampel bahan pangan berbasis pati dan gel menunjukkan bahwa semakin tinggi kecepatan kompresi yang digunakan maka nilai kekerasan yang diperoleh akan cenderung semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena semakin rendah kecepatan kompresi maka sampel akan memiliki waktu yang cukup untuk melawan gaya yang diberikan (Pons and Fiszman 1996). Derajat kompresi ternyata memiliki pengaruh terhadap nilai kekerasan dan kepaduan (cohesiveness). Menurut Rosenthal (2010), semakin tinggi derajat kompresi maka nilai kekerasan akan cenderung naik dan nilai kepaduan (cohesiveness) cenderung turun. Oleh karena itu, setiap pengukuran dengan sampel yang sama harus menggunakan pengaturan alat yang sama. Selain itu, penting sekali untuk menyesuaikan alat berdasarkan referensi.
Warna
Selain tekstur, warna juga merupakan salah satu parameter penting yang menentukan mutu nasi, terutama pada beras berwarna seperti beras hitam. Parameter warna dapat menjadi indikator kandungan antosianin pada beras hitam. Hal ini sesuai dengan penelitian Kristamtini et.al (2014) pada 11 varietas beras hitam yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kandungan antosianin total dengan parameter warna L*, a* dan b*. Korelasi negatif tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai parameter warna maka kandungan antosianin total akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya semakin rendah nilai parameter warna maka semakin tinggi kandungan antosianin totalnya. Penelitian Yodmanee et.al (2011) pada beberapa varietas beras berpigmen di Thailand Selatan juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara total polifenol dan kapasitas antioksidan terhadap parameter warna L*, a*, dan b*. Korelasi negatif ini dapat terjadi karena beras hitam memiliki kandungan antosianin yang tinggi pada lapisan perikarp. Lapisan perikarp ini memiliki warna ungu gelap (Ryu et.al 1998).
Pengukuran warna pada suatu sampel bahan makanan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang paling sering digunakan ialah menggunakan instrumen kromameter. Kromameter merupakan alat untuk mengukur warna pada permukaan sekaligus perbedaan tingkat kecerahanya. Prinsip kerja kromameter ialah menyinari obyek dengan gelombang cahaya. Gelombang cahaya ini kemudian dipantulkan oleh obyek melalui filter dan ditangkap oleh silicon photocells. Pada silicon photocells ini, energi cahaya yang diterima dikonversikan menjadi sinyal listrik dan diterjemehkan oleh mikroprosesor menjadi koordinat L*, a* dan b*. Nilai L* ialah tingkat kecerahan . Nilai a* menunjukkan kecenderungan terhadap warna merah hingga hijau. Nilai b* menunjukkan kecenderungan terhadap warna kuning hingga biru (Muizzuddin et.al 1990).
Selain kromameter, pengukuran warna secara kuantitatif juga dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi kamera digital, komputer dan perangkat lunak pengolah gambar. Metode ini digunakan oleh Yam dan Papadakis (2004) untuk mengukur sampel pizza. Alasan mendasar yang dikemukakan oleh penulis memilih menggunakan metode ini ialah karena instrumen pengukuran warna komersial tidak dapat mengukur sampel yang berukuran besar. Instrumen seperti kromameter memiliki keterbasan dimana peneliti harus mengambil sampel dalam jumlah kecil. Pengambilan sampel seperti ini kurang bisa mewakili pada produk berukuran besar.
Pengukuran warna dengan kombinasi kamera digital, komputer dan perangkat lunak pengolah gambar sangat bergantung pada kualitas gambar yang dihasilkan. Untuk memperoleh kualitas gambar yang baik maka sistem pencahayaan dan kamera menjadi dua faktor penting. Sistem pencahayaan penting untuk disesuaikan karena warna sampel bergantung pada spektrum cahaya yang dipantulkan. Standar iluminasi yang biasa digunakan ialah A (2856 K), C (6774 K), D65 (6500 K) dan D (7500 K) (Yam dan Papadaikis 2004). Kamera digital yang digunakan harus memiliki minimum resolusi 1600 x 1200 pixel yang setara dengan 2.1 megapiksel. Selain itu, kamera harus memiliki fitur zoom dan macro (Yam dan Papadaikis 2004).
Agar warna dapat dianalisis maka diperlukan perangkat lunak pengolah gambar dan seperangkat komputer. Perangkat lunak seperti Adobe Photoshop dapat digunakan untuk menganalisis gambar (Yam dan Papadikis 2004). Komputer yang digunakan harus kompatibel untuk menjalankan perangkat lunak tersebut. Adobe Photoshop versi terbaru membutuhkan komputer dengan sistem operasi windows 7, prosesor Intel Core 2 atau AMD Athlon 64 dan Random Access Memory (RAM) 2 GB (Adobe System Incorporated 2017).
Setelah mengetahui uraian dari metode pengukuran warna menggunakan kromameter dan kamera digital, dapat diketahui kelebihan dan kekurangan masing-masing metode. Perbandingan kelebihan dan kekurangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan dari Metode Pengujian Warna dengan Kromameter dan Kamera Digital
Metode | Kelebihan | Kekurangan |
Kromameter | Ukuran sampel yang digunakan sedikit; sederhana dalam pengoperasian dan cepat | Kurang representatif untuk sampel besar |
Kamera digital | Dapat digunakan untuk sampel kecil maupun besar | Membutuhkan waktu untuk mengolah gambar menjadi data koordinat; membutuhkan pengaturan pencahayaan; membutuhkan peralatan pendukung seperti komputer dan perangkat lunak pengolah gambar |
Waktu Pemasakan
Parameter penting lain yang menentukan kualitas nasi ialah waktu pemasakan. Nasi dengan waktu pemasakan yang singkat tentu menjadi suatu nilai tambah bagi konsumen. Dalam menentukan waktu pemasakan beras terdapat beberapa metode. Metode-metode tersebut ialah Electric Rice Cooker dan Rahingno Test.
Salah satu metode pengukuran waktu pemasakan ialah metode Electric Rice Cooker. Metode ini digunakan oleh Gunasekara dan Dharmasena (2011) untuk mengukur waktu pemasakan akibat pengaruh perlakuan bentuk bulir beras dan perlakuan perendaman awal. Metode Electric Rice Cooker ini juga digunakan oleh Herawati (2015) untuk menentukan waktu pemasakan beras tiruan.
Prinsip dari metode Electric Rice Cooker ini cukup sederhana. Waktu pemasakan ditentukan berdasarkan lama waktu yang dibutuhkan Rice cooker sejak posisi on hingga off. Rice cooker akan berada pada posisi off ketika seluruh air telah terserap pada beras sehingga suhu di dalam rice cooker melebihi 100 oC. Metode ini sangat bergantung pada suplai panas yang dihasilkan oleh Rice cooker. Suplai panas ini bergantung pada daya yang sanggup dihasilkan oleh elemen pemanas pada rice cooker.
Metode lain yang dapat digunakan untuk mengukur waktu pemasakan ialah Ranghino test, yaitu dengan cara memasak 50 g beras pada 500 mL air mendidih. Setelah 10 menit, 20 bulir beras diambil secara bergantian setiap 1 menit. Nasi dianggap telah matang apabila ketika nasi ditekan dengan menggunakan dua plat kaca, tidak terdapat inti putih yang tersisa pada bulir nasi. Metode ini digunakan oleh Correia et. al (2016), dalam penelitiannya mengenai karakterisasi fisik beras carolino. Paiva et.al (2015) mengukur waktu pemasakan pada beras merah dan hitam dengan menggunakan metode yang serupa namun dengan jumlah sampel yang lebih sedikit. Vidal (2007) mengemukakan bahwa metode pengujian ini pertama kali dipakai oleh Ranghino seorang peneliti dari Italia. Titik akhir yang dipakai oleh metode ini ialah ketika 90% bulir beras telah memiliki sifat translucent (dapat meneruskan cahaya namun benda dibelakangnya terlihat samar). Juliano et al (1984) menyebut metode ini sebagai waktu pemasakan minimum, dimana waktu optimum pemasakan dapat dicapai dengan menambahkan 2 menit pemasakan.
Kedua metode penentuan waktu pemasakan tersebut secara singkat dapat dibandingkan seperti pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terangkum kelebihan dan kekurangan dari kedua metode tersebut.
Tabel 2.Kelebihan dan Kekurangan dari Metode Pengujian Waktu Pemasakan dengan Electric Rice Cooker dan Ranghino Test
Metode | Kelebihan | Kekurangan |
Electric Rice Cooker | Titik akhir pengujian mudah ditentukan; sederhana | Titik akhir pengujian tidak ditentukan secara teliti; sangat bergantung pada kapasitas dan daya rice cooker yang digunakan; tidak dapat digunakan untuk mengetahui waktu pemasakan minimum |
Ranghino Test | Titik akhir pengujian ditentukan dengan sangat teliti; dapat digunakan untuk mengetahui waktu pemasakan minimum dan optimum | Rumit; membutuhkan beberapa glassware untuk analisa |
Daftar Pustaka
Adobe System Incorporated. 2017. Photoshop CC 2017 System Requirements and Language Versions. https://helpx.adobe.com/photoshop/system-requirements.html.
Bello M, Baeza R, Tolaba M.P. 2006. Quality Characteristics of Milled and Cooked Rice Affected by Hydrothermal Treatment. Journal of Food Engineering. 72:124-133.
Bourne M. 2002. Food Texture and Viscosity. New York (US) : Academic Press.
Champagne E T, Lyon B G, Min B K, Vinyard B T, Kett K L, Barton II F E, Webb B D, McClung A M, Moldenhauer K A, Linscombe S, McKenzie K S, Kohlwet D E. 1998. Effect of Postharvest Processing on Texture Profile Analysis of Cooked Rice. Cereal Chem. 75(2): 181-186.
Correia P M, Alves M, Lemos D, Guine P F. Contribuition for The Physical Characterization of Carolino Rice. Journal of Food Science Research. 1(1):32-38.
Gunasekara K G dan Dharmasena D A N. 2011. Effect of Grain Shape and Pre-soaking on Cooking Time and Cooking Energy. Tropical Agricultural Research. 22(2): 194-203.
Hariyadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Herawati H. 2015. Optimasi Proses, Profil Isotermis, Sorpsi Air, dan Analisis Termal Beras Tiruan Instan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Juliano B O. 1994. Criteria and Test for Rice Grain Quality. In: Rice Chemistry and Technology (B.O. Juliano, ed., 1994). America Association of Cereal Chemosts, St.Paul, Minnesota.
Juliano B O, Perez C M, Alyoshin E P, Romanov V B, Blakeney A B, Welsh A, Choudhurt N H, Delgado L, Iwasaki T, Shibuya N, Mossman A P, Siwi B, Damardjati D S, Suzuki H, Kimura H. 1984. International Cooperative Test on Texture of Cooked Rice. Journal of Texture Studies. 15: 357-376.
Kristamtini, Taryono, Basunanda P, Murti R H. 2014. Keragaman Genetik dan Korelasi Parameter Warna Beras dan Kandungan Antosianin Total Sebelas Kultivar Padi Beras Hitam Lokal. Jurnal Ilmu Pertanian. 17(1):57-70.
Muizzuddin N, Marenus K, Maes D, Smith W P.1990. Use of A Chromameter in Assessing The Efficacy of Anti-Irritants and Tanning Accelerators. Journal of The Society of Cosmetic Chemists. 41:369-378.
Paiva F F, Nathan L V, Berrios J D J, Vania Z P, Wood D, Williams T, Pan J, Elias MC. 2015. Polishing and Parboiling Effect on The Nutritional and Technological Properties of Pigmented Rice. Journal of Food Chemistry. 191: 105-112.
Pons M and Fiszman S M. 1996. Instrumental Texture Profile Analysis with Particular Reference to Gelled Systems. Journal of Texture Studies. 27:597-624.
Rosenthal A J. 2010. Texture Profile Analysis – How Important Are The Parameters?. Journal of Texture Studies. 41:672-684.
Ryu S N, Park S Z, Ho C T. 1998. High Performances Liquid Chromatographic Determination of Anthocyanin Pigments in Some Varieties of Black Rice. Journal of Food and Drug Analysis. 6: 1710-1715.]
Vidal V, Pons B, Brunnschweiler J, Handschin S, Rouau X, dan Mestres C. Cooking Behavior of Rice in Relation to Kernel Physicochemican and Structural Properties. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 55: 336-346.
Yam K L dan Papadakis S E. 2004. A Simple Digital Imaging Method for Measuring and Analyzing Color of Food Surfaces. Journal of Food Engineering. 61:137-142. Yodmanee S, Karrila T.T Pakdeechanuan P. 2011. Physical, Chemical and Antioxidant Properties of Pigmented Rice Grown in Southern Thailand. International Food Research Journal 18(3):901-906.
Leave a Reply