Fortifikasi Yodium pada Bahan Makanan dan Stabilitasnya

Gambar oleh moritz320 dari Pixabay
Gambar oleh moritz320 dari Pixabay

Mengapa perlu Dilakukan Fortifikasi Yodium?

Fortifikasi yodium merupakan salah satu jenis fortifikasi mineral yang sudah sangat lazim dilakukan pada beberapa negara di dunia. Di Indonesia fortifikasi yodium lazim dilakukan pada produk garam. Salah satu alasan mendasar terkait fortifikasi yodium ialah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Gangguan ini dapat berupa pembengkakan kelenjar tiroid (gondok),  pengaruh terhadap lambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Di dunia, masalah kekurangan yodium ini disebut IID (Iodine Deficiency Disorder). Sebagian besar negara di dunia juga melakukan fortifikasi yodium pada bahan pangan dengan tujuan mencapai asupan minimum yang disarankan (90-120 µg untuk anak-anak usia 2-12 tahun; 150  µg  untuk dewasa; dan 200 µg  untuk ibu hamil dan menyusui) (WHO/UNICEF/ICCIDD,2007). Secara alami yodium dapat terkandung dalam sayuran hijau, ikan dan seafood.

Mengapa Stabilitas Fortifikasi Yodium pada Bahan Makanan itu Penting?

Kandungan yodium dari Makanan yang diterima konsumen bergantung pada kadar yodium yang mampu dipertahankan oleh makanan tersebut. Mineral yodium diketahui merupakan jenis mineral yang mudah hilang selama pencampuran, penyimpanan, transportasi dan selama pengolahan makanan (Longvah et.al, 2012). Informasi mengenai kemampuan bahan makanan mempertahankan kadar yodiumnya selama proses pemasakan sangat penting diketahui untuk menjamin asupan yodium terpenuhi.

Penelitian mengenai stabilitas yodium pada makanan telah dilakukan oleh Longvah T et.al (2012) dalam publikasinya yang berjudul Stability of added iodine in different Indian Cooking Process. Sebanyak 140 sampel makanan diambil dari 23 negara bagian di India. Sampel-sampel ini kemudian dianalisa untuk megetahui kandungan yodium dan persen ketahanannya pada air minum, garam, dan makanan yang ditambahkan garam beryodium. Pada sampel air minum, terdapat variasi data kandungan yodium yang menyebar diantara nilai 1,3 µg/l hingga 23,2 µg/l. Secara umum dapat dibagi menjadi tiga golongan. Terdapat 65,8 % negara bagian yang kandungan yodium dalam air mineralnya dibawah 10 µg/l; 24,4% yang berada diantara 10,1-20 µg/l; dan 9,8% lebih dari 20 µg/l. Secara umum, apabila level kadar yodium < 10 µg/l tergolong sebagai defisiensi yodium. Jika didasarkan pada kriteria ini maka 65,8% negara bagian di India telah mengalami defisiensi yodium. Namun, IDD (Iodine Deficiency Disorder) tidak bisa dikorelasikan secara sederhana dengan kandungan yodium dalam air minum.

Dalam penelitian tersebut juga dilihat kadar yodium pada garam beryodium. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 8 negara bagian memiliki kandungan yodium > 40 ppm, 2 negara bagian berada di antara 15-30 ppm, serta 1 negara bagian yang kandungan yodiumnya < 15 ppm. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan level iodisasi yang diterapkan oleh perusahaan pembuat garam pada masing-masing negara bagian. Selain itu, kehilangan selama transportasi dan penyimpanan juga dapat menurunkan kadar yodium dalam garam (Longvah,2012). Pada 140 resep makanan yang telah diberi garam beryodium, data tersebar menjadi 3 golongan. Sebanyak 5,7% resep makanan berada pada golongan pertama dengan persen ketahanan rendah (<20%) ; 15,7% pada ketahanan sedang (20-40%); dan 20% resep dengan ketahanan yang sangat tinggi (>80%). Secara umum, ketahanan yodium tidak hanya dipengaruhi oleh metode pemasakan, namun juga oleh pH, ion logam, asam askorbat, durasi memasak dan lain-lain (Chasavait et.al, 2002).

Stabilitas Fortifikasi Yodium pada Produk Sayuran

Penelitian berikutnya membahas mengenai perbedaan stabilitas yodium antara produk sayuran yang telah di biofortifikasi dengan produk sayuran yang diberi penambahan garam beryodium selama proses memasak. Penelitian ini dilaporkan oleh Comandini et.al (2013) dalam sebuah Jurnal berjudul “Stability of Iodine during cooking: investigation on biofortified and not fortified vegetables. Sayuran yang dipakai ialah Kentang (var. Labadia, Melody, Cupido, Universa), Wortel (var. Maestro), Tomat (var. Piccolo Exp.). Metode pemasakan yang digunakan ialah dengan perebusan (25 menit dan 35 menit pada 100 0C) dan pemanggangan (220 0C selama 20 menit).

Perebusan kentang tidak memberikan kehilangan yodium yang signifikan pada semua varietas. Sebaliknya, pada perebusan wortel justru menyebabkan kehilangan yodium yang signifikan, dari 139,35 menjadi 61,69 µg/100g. Sedangkan pada proses pemanggangan, kentang dengan varietas Labadia 1 dan Cupido menunjukkan kehilangan yang signifikan (21,27 dan 36,17%). Komposisi amilosa pada pati kentang (sekitar 21 % dari berat total pati) mungkin dapat menahan kandungan yodium pada kentang sehingga tidak terjadi kehilangan yang signifikan (Mottiar dan Altosaar, 2011). Yodium dapat terikat di dalam komponen V-amilosa heliks pada pati dan membentuk rantai polyiodide (Yu et al., 1996). Di sisi lain, wortel yang mempunyai kehilangan yodium cukup besar saat perebusan dapat disebabkan pula oleh tingginya rasio luas permukaan/volume wortel (3,21 cm2/cm3) dibandingkan kentang yang hanya (0,86 cm2/ cm3). Sementara itu, pada pemasakan kentang dan wortel dengan penambahan garam beryodium, terlihat bahwa pada metode perebusan tidak satupun dari wortel maupun kentang mampu menyerap yodium yang berasal dari penambahan garam. Begitu pula pada metode pemanggangan tidak terdapat perubahan kadar yodium bahan secara signifikan. Garam beryodium justru larut pada air perebusan, sehingga air perebusan memiliki kandungan yodium sebesar 9,52 µg/100g. Sangat disarankan untuk menggunakan garam beryodium yang telah di proses mikroenkapsulasi. Hal ini disarankan agar bentuk dari garam beryodium lebih stabil. Meskipun pada dasarnya penyerapan yodium pada sayuran masih diteliti.

Enkapsulasi Yodium

Ion logam seperti besi diketahui dapat mempengaruhi stabilitas dari mineral yodium. Besi dapat bereaksi dengan yodium. Oleh karena itu, suatu senyawa dibutuhkan agar dapat menjadi mikroenkapsulan yodium supaya tidak bereaksi dengan besi. Pada kondisi tidak terenkapsuli, setiap tahunnya terdapat rata-rata penurunan kadar sebesar 15%. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena dengan luas permukaan serbuk Fe-fumarat (~50 µm) dan kadar air tinggi akan memicu reaksi antara yodium dengan besi.

Menurut Yao Li et.al (2010), pelapisan enkapsulasi yodium yang terbaik pada garam beryodium ialah dengan menggunakan tepung gandum durum 20% (w/w) sebagai bahan pengikat, TiO2 25% (w/w) sebagai  pelindung warna dan terakhir dilapisi dengan  10% (w/w) HPMC. Kombinasi ini menghasilkan DFS (Double Fortified Salt) yang stabil selama penguji skala pilot plant. Persen ketahanan dari DFS dapat mencapai 72% setelah penyimpanan 12 bulan, sementara control (tanpa enkapsulasi) telah habis kadar yodium nya (bereaksi dengan Fe-fumarat). Persen ketahanan dari DFS nyaris sama dengan garam beryodium yang dikondisikan tidak bereaksi dengan Fe-fumarat.

Referensi

Chavasit, V., Malaivongse, P., & Judprasong, K. 2002. Study on stability of iodine in iodated salt by use of different cooking model conditions. Journal of Food Composition and Analysis, 15, 265–276.

Comandini. Patrizia, Lorenzo Cerretani, Massimiliano Rinaldi, Angelo Cichelli, and  Emma Chiavaro. 2013. Stability of iodine during cooking: investigation on biofortified and not fortified vegetables. Int J Food Sci Nutr, 2013; 64(7): 857–861.

Longvah, T, G.S. Toteja, G. Buliyya, R.S. Raghuvanshi, Shashi Jain, Vishnuvardhan Rao, A. Upadhya. 2012. Stability of added iodine in different Indian cooking processes. Food Chemistry 130 (2012) 953–959.

Mottiar dan Altosaar, 2011. Iodine sequestration by amylose to combat iodine deficiency disorders. Trends Food Sci Tec 22:335–340.

WHO/UNICEF/ICCIDD.2007. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring their Elimination: A Guide for Programme Managers (3rd ed.). World Health Organization, Geneva.

Yao O. Li, Levente L. Diosady, Annie S. Wesley. 2010. Iodine stability in iodized salt dual fortified with microencapsulated ferrous fumarate made by an extrusion-based encapsulation process. Journal of Food Engineering 99 (2010) 232–238.

Yu X, Houtman C, Atalla RH. 1996. The complex of amylose and iodine. Carbohyd Res 292:129–141.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*