
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, kopi menjadi minuman favorit berbagai kalangan. Jika dulunya kopi dikenal sebagai minuman kalangan orang tua, maka saat ini kaum muda juga mampu menikmati kopi sebagai teman nongkrong. Jika orang awam hanya mengenal satu rasa kopi yaitu pahit maka berbeda halnya dengan penikmat kopi. Penikmat kopi mengenali perbedaan cita rasa antara satu kopi dengan yang lainnya. Kopi memang memiliki daya tarik yang unik. Perbedaan asal usul biji kopi hingga teknik menyeduh mampu menghasilkan cita rasa minuman yang khas.
Cita rasa minuman kopi berasal dari ekspresi senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Senyawa-senyawa tersebut dihasilkan sejak dalam bentuk prekursor yaitu pada tingkat genetika yang dibawa oleh tanaman hingga tahap pengolahan setelah buah kopi tersebut dipanen. Dua jenis kopi yang populer di Dunia ialah Robusta dan Arabika. Robusta memiliki kecenderungan cita rasa yang pahit dan tajam akibat kandungan kafein dan asam klorogenat yang tinggi. Arabika memiliki cita rasa yang lebih kaya dengan ciri khas rasa asam yang segar. Di Indonesia, dikenal pula Liberika yang memiliki cita rasa seimbang antara pahit dan manisnya serta turunan Liberika yaitu Excelsa yang memiliki cita rasa khas seperti buah Nangka.
Menurut SCA (2003), cita rasa minuman kopi dapat diidentifikasi melalui beberapa parameter. Parameter tersebut diantaranya: (1) Aroma, yaitu aroma ketika kopi diseduh dan ketika masih dalam bentuk bubuk kering (fragrance); (2) Acidity, merupakan tingkat keasaman (asam yang segar menyerupai buah hingga terlalu masam); (3) After taste, yaitu rasa dan aroma yang masih tertinggal pada langit-langit mulut setelah minum kopi; (4) Flavour, merupakan kombinasi antara aroma, after taste dan acidity; (5) Body, yaitu sensasi kekentalan yang diperoleh ketika kopi berada di antara lidah dan rongga mulut bagian atas; (6) Balance, merupakan skor keseimbangan antara body, flavor, after taste dan acidity; (7) Sweetness atau kemanisan yang berasal dari karbohidrat sederhana; (8) Defects apabila terdapat cemaran aroma dan rasa; (9) Uniformity atau keseragaman pada ulangan pengujian; (10) Clean cup apabila tidak terdapat defects; dan (11) Overall yang merupakan penilaian terhadap kesuluruhan cita rasa kopi.
Cita Rasa Muncul Sejak Sebelum Ditanam
Pada tingkat genetika, masing-masing varietas kopi baik itu Arabika, Robusta, Liberika dan yang lainnya membawa potensi kadar gula, kafein, asam klorogenat, trigonelline dan lipid. Nantinya, senyawa-senyawa ini akan menjadi prekursor bagi terbentuknya senyawa-senyawa cita rasa kopi. Oleh karena itu, tidak jarang tanaman kopi hasil persilangan atau hibrida selain memiliki ketahanan terhadap penyakit tanaman, juga memiliki cita rasa yang unggul.
Lokasi tumbuh dapat mempengaruhi kadar prekursor maupun senyawa cita rasa yang dihasilkan. Pada lokasi tumbuh yang tinggi, tanaman kopi akan menghasilkan kadar protein, kafein dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dataran rendah. Selain itu, menurut Bertrand et al. (2012), senyawa volatil seperti etanol dan aseton yang memberikan cita rasa buah (fruity), kadarnya akan semakin tinggi pada tanaman yang tumbuh di dataran tinggi. Kopi Arabika jika ditanam pada lokasi dengan ketinggian yang berbeda-beda juga akan memberikan profil cita rasa yang berbeda-beda. Pada ketinggian 1600 m dpl, kopi arabika memiliki body yang lebih kental (akibat peningkatan kadar lemak) dibandingkan dengan yang ditanam pada ketinggian 1400 dan 1200 m dpl (Towaha dkk. 2015).
Pengolahan Primer dan Senyawa Cita Rasa
Tujuan pengolahan primer, utamanya ialah untuk menghilangkan lapisan kulit, dan daging buah serta mucilage yang masih menempel pada biji kopi. Namun, pengolahan primer pada ceri kopi terutama yang melibatkan enzim seperti pada kopi fermentasi maupun kopi luwak, mampu mempengaruhi cita rasa. Lapisan mucilage merupakan lapisan yang memiliki banyak macam karbohidrat. Pektin, selulosa, galaktosa, arabinosa, dan karbohidrat sederhana lainnya merupakan penyusun dari mucilage. Selama fermentasi, mikroba (utamanya ialah khamir dan bakteri asam laktat) memanfaatkan karbohidrat ini sebagai substrat makanannya. Hasil dari fermentasi ini ialah senyawa-senyawa asam dan alkohol yang memberikan cita rasa asam, fruity, flora dan alkoholik (Jackels dan Jackels, 2005). Fermentasi harus dilakukan secara terkontrol agar tidak terjadi over fermented yang justru akan merusak cita rasa kopi.
Lain halnya dengan pengolahan primer kopi Luwak. Kopi yang melibatkan perut Luwak sebagai “media” pengolahan primernya ini memiliki cita rasa yang unik dengan body yang smooth dan tidak meninggalkan after taste yang buruk. Pada perut Luwak,terjadi aktivitas enzim pencernaan serta fermentasi. Marcone (2004) mengungkap bahwa terjadi hidrolisis protein pada buah kopi di dalam perut Luwak. Hidrolisis ini menghasilkan asam-asam amino yang berperan sebagai prekursor cita rasa pada biji kopi. Prekursor ini akan bereaksi saat pengolahan sekunder sehingga menghasilkan senyawa cita rasa (flavor). Oleh karena itu, kopi Luwak dapat memiliki cita rasa yang khas.
Pengolahan Sekunder sebagai Kunci
Tahap pengolahan sekunder seperti penyangraian (roasting), penggilingan (grinding) dan penyeduhan (brewing) merupakan tahap paling krusial yang menentukan cita rasa kopi. Pada tahap penyangraian terjadi beberapa reaksi kimia yang mengubah senyawa prekursor menjadi senyawa cita rasa. Reaksi kimia tersebut antara lain: (1) Reaksi Maillard, reaksi yang melibatkan gugus asam amino dan gula pereduksi ini menghasilkan senyawa dari golongan furan seperti furfural, furfurilmerkaptan, furfurilmetilsulfida, furfurilmetildisulfida, kahweofuran, dan difurfurilsulfida yang memberikan cita rasa serupa almond pada kopi Robusta maupun Arabika. Senyawa dari golongan furanon juga terbentuk melalui reaksi ini, tepatnya pada tahap kondensasi aldol. Senyawa golongan furanon memberikan cita rasa karamel manis. (2) Degradasi Strecker, pada tahap intermediate reaksi maillard terjadi reaksi antara asam amino dengan senyawa dikarbonil yang menyebabkan degradasi asam amino menjadi beberapa senyawa yang salah satunya ialah pirazin. Pirazin memberikan efek cita rasa seperti kacang yang disangrai dan earthy. Selain itu, degradasi Strecker juga menghasilkan senyawa dari golongan tiol, seperti 2-furfuriltiol dan 2-metil-3-furantiol yang memberikan cita rasa menyerupai rebusan daging dan aroma sangrai (Blank, Sen and Grosch, 1992; de Melo Pereira et al., 2019).
Proses penggilingan berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel biji kopi. Ukuran partikel kopi harus tepat. Apabila ukuran partikelnya terlalu besar akan mengurangi luas permukaan sehingga senyawa cita rasa tidak terekstraksi dengan maksimal. Ukuran yang terlalu halus juga tidak baik karena akan meningkatkan cita rasa pahit pada kopi.
Teknik menyeduh atau brewing dapat disebut sebagai metode ekstraksi kopi. Sebagaimana layaknya metode ekstraksi, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil ekstraksinya. Faktor-faktor tersebut seperti: ukuran partikel, pelarut yang digunakan, perbandingan jumlah pelarut dengan bahan, suhu, tekanan, dan lama ekstraksi. Metode penyeduhan dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu: perebusan, tekanan, dan penyaringan. Metode perebusan seperti pada kopi tubruk dan syphon. Metode tekanan seperti pada mesin espresso dan French press sedangkan metode penyaringan seperti pada perkolasi atau V60. Perbedaan metode akan menghasilkan rendemen ekstraksi yang berbeda-beda. Rendeman inilah yang menentukan konsentrasi senyawa-senyawa cita rasa di dalam minuman kopi.
Metode Penyeduhan | Rendemen Ekstraksi (%) |
Perebusan | 26.9 |
Perkolasi | 25.5 |
Penyaringan | 30.4 |
Napoletana | 29.6 |
Plunger | 23.9 |
Moka | 31.9 |
Espresso | 24.2 |
Kompleksitas di dalam Kopi membuatnya semakin menarik untuk dipelajari dan dikembangkan. Menjaga kualitas sejak sebelum ditanam hingga sampai ke meja barista menjadi hal yang pokok demi kenikmatan secangkir kopi.
Referensi
Bertrand, B. et al. (2012) ‘Climatic factors directly impact the volatile organic compound fingerprint in green Arabica coffee bean as well as coffee beverage quality’, Food Chemistry. Elsevier, 135(4), pp. 2575–2583. doi: 10.1016/J.FOODCHEM.2012.06.060.
Blank, I., Sen, A. and Grosch, W. (1992) ‘Potent odorants of the roasted powder and brew of Arabica coffee’, Zeitschrift für Lebensmittel-Untersuchung und -Forschung, 195(3), pp. 239–245. doi: 10.1007/BF01202802.
de Melo Pereira, G. V. et al. (2019) ‘Exploring the impacts of postharvest processing on the aroma formation of coffee beans – A review’, Food Chemistry, pp. 441–452. doi: 10.1016/j.foodchem.2018.08.061.
Jackels SC, Jackels CF. (2006). Characterization of the Coffee Mucilage Fermentation Process Using Chemical Indicators: A Field Study in Nicaragua. Journal of Food Sciences. 70(5).
Marcone, Massimo. (2004). Composition and properties of Indonesian palm civet coffee (Kopi Luwak) and Ethiopian civet coffee. Food Research International – FOOD RES INT. 37. 901-912. 10.1016/j.foodres.2004.05.008.
Petracco M. (2001). Beverage preparation: brewing trends for the new millennium. In R.J Clarke and O.G Vitzthum (Eds) Coffee and Recent Developments (pp. 140-164). Oxford: Blackwell Science.
SCA (Specialty Coffee Association). (2003). Protocols and Best Practices. https://sca.coffee/research/protocols-best-practices.
Towaha, J., Purwanto EH, Supriadi H. (2015). Atribut Kualitas Kopi Arabika pada Tiga Ketinggian Tempat di Kabupaten Garut. J.TIDP 2(1), 29-34.
Leave a Reply