
Oleh: Halimatus Sakdiah, S.T.P – Mahasiswa Master of Food Science IPB University
Bahan pangan merupakan komoditi yang bersifat perishable (cepat rusak) sehingga perlu diperhatikan agar tetap memiliki umur simpan yang masih aman untuk dikonsumsi. Masa simpan merupakan aspek yang penting karena bersangkutan dengan food safety. Dimana makanan yang sudah tidak aman dikonsumsi maka akan berdampak terhadap kesehatan tubuh manusia.
Untuk mendeteksi kerusakan yang terdapat pada bahan pangan, dapat dilakukan analisis kimia dan evaluasi sensorik menggunakan panelis manusia. Namun menurut Qiu dan Wang (2015) terdapat kelemahan jika menggunakan analisis kimia, dimana menggunakan waktu yang lebih banyak, perlu melakukan pretreatment sampel, standarisasi dan kalibrasi instrumen yan digunakan, serta hasil akhir yang belum jelas.
Penggunaan robot di industri pangan terus meluas, mulai dari teknologi pasca panen seperti grading atau sortasi pada buah-buahan, proses pengolahan bahan pangan, hingga pengemasan bahan pangan yang dilakukan dengan robot. Namun untuk pengujian secara sensori dengan instrumen manusia masih lebih banyak digunakan. Namun tidak menutup kemungkinan beberapa tahun kedepan penggunaaan smart e-nose terus berkembang.
Kerusakan Pangan
Aroma dan rasa merupakan sifat yang melekat pada bahan makanan. Dimana bau dan rasa sangat erat hubungannya dengan senyawa kimia Li et al. (2022). Aroma berasal dari senyawa aromatik yang terutama dikenal karena susunan struktural, gugus fungsi, dan ikatan kimianya. Volatilitas senyawa ini ditentukan oleh kekuatan ikatan dan polaritasnya. Penyebab utama aroma adalah gugus fungsi yang menambah aroma tertentu pada makanan.
Aroma makanan yang sudah rusak, berbeda dengan makanan yang masih aman dikonsumsi. Aroma merupakan pendeteksi awal apakah suatu produk mengalami kerusakan. Dimana pada produk yang mengandung tinggi protein seperti ikan dan daging akan menghasilkan aroma busuk atau H2S maupun gas ammonia, pada produk dengan kandungan minyak tinggi seperti minyak goreng, butter, maupun margarin maka akan menghasilkan aroma tengik, sementara itu pada produk dengan komponen utama karbohidrat seperti buah-buahan maka akan menghasilkan aroma asam maupun menghasilkan gas alkohol sebagai ciri kerusakannya.
Pengujian Sensori
Pengujian secara sensori lebih banyak digunakan karena informasi yang didapatkan terintegrasi, komprehensif, dan akurat tentang produk makanan. Dimana untuk menilai hasil ransangan sensori yang muncul dapat digambarkan dari nilai numerik. Namun untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan panelis terlatih, dimana panelis ini memerlukan panelis khusus yang membutuhkan waktu lama untuk pelatihan sebelum evaluasi sensori akhir. Selain itu kelemahan panelis manusia yaitu dapat terjadi bias dan mudah dipengaruhi oleh emosi serta kesehatan yang juga dapat memengaruhi indera sensori.
Smart E-nose
Sejauh ini telah dikembangkan teknologi e-nose, teknologi e-nose merupakan suatu instrumen yang diciptakan mirip seperti sistem indera penciuman yang berfungsi untuk mendeteksi bau atau aroma. E-nose biasanya berisi serangkaian sensor untuk mendeteksi dan mengenali zat kimia yang mudah menguap melalui serangkaian sensor gas. Berdasarkan Turner dan Magan (2004) bahwa e-nose terdiri dari tiga rangkaian dasar yaitu bau gas yang mudah menguap melewati susunan sensor, konduktansi sensor berubah karena tingkat pengikatan dan menghasilkan serangkaian sinyal sensor, yang mana digabungkan ke perangkat lunak analisis data untuk menghasilkan output.

Kerusakan-kerusakan yang terjadi dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi e-nose. E-nose terinspirasi dari sistem penciuman manusia. Sistem penciuman manusia didasarkan pada reaksi kimia yang lebih rumit daripada stimulus fisik dalam sistem penglihatan dan pendengaran. Bau bersifat kompleks dan selalu mengandung berbagai jenis molekul gas. Setiap sel reseptor penciuman hanya memiliki satu jenis reseptor bau, dan setiap reseptor dapat mendeteksi zat bau dalam jumlah terbatas. setiap molekul bau mengaktifkan sangat sedikit reseptor bau, yang mengarah ke kode kombinatorial dan membentuk “pola bau” (Fang et al. 2022).
Berbagai aplikasi e-nose pada bidang pangan telah diketahui bahwa dapat mendeteksi pemantauan proses, pengawasan masa simpan, evaluasi kesegaran, dan penilaian keaslian produk pangan (Qiu dan Wang 2015). Pada penelitian Li et al. (2022), e-nose telah dimanfaatkan untuk membedakan dua kulit jeruk hasil dari budidaya yang berbeda. Sehingga e-nose ini berpotensi memiliki peluang sebagai pendeteksi kerusakan pangan melalui aroma yang menyimpang pada bahan pangan.
Referensi
Fang C, Li HY, Li L, Su HY, Tang J, Bai X, Liu H. 2022. Smart Electronic Nose Enabled by an All-Feature Olfactory Algorithm. Advanced Intelligent Systems. 4: 1-15.
Li X, Yang Y, Zhu Y, Ben A, Qi J. 2022. A novel strategy for discriminating different cultivation and screening odor and taste flavor compounds in Xinhui tangerine peel using E-nose, E-tongue, and chemometrics. Food Chemistry. 384:1-11. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2022.132519
Turner APF dan Magan N. 2004. Electronic noses and disease diagnostics. Nature Review: Microbiology. 2:161-166.
Qiu S dan Wang J. 2015. Application of Sensory Evaluation, HS-SPME GC-MS, E-Nose, and E-Tongue for Quality Detection in Citrus Fruits. Journal of Food Science. 80(10):S2296-S2304. doi: 10.1111/1750-3841.13012
Leave a Reply